Meskipun pemilu masih setahun ke depan, hiruk-pikuk kegiatan kampanye dan kontestasi setiap kekuatan politik sudah mulai menyesakkan jagat virtual dan ruang publik Ibu Pertiwi. Tak jarang, pesta demokrasi yang seharusnya dilakukan secara dewasa, penuh kesantunan, mengutamakan akal sehat, dan penuh kegembiraan itu seringkali menjadi arena pertempuran yang potensial mengoyak persatuan dan kesatuan Republik.
Saling lempar hujatan, fitnah, berita hoaks menjadi senjata yang lazim digunakan untuk menyerang, menjatuhkan, menghancurkan atau bahkan mengeleminasi lawan. Etika dan norma-norma perilaku ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ hanya menjadi simbol yang kehilangan relevansi dan elan vitalnya, di tengah ambisi dan orientasi perebutan kekuasaan jangka pendek.
Ketika kekuasaan dijadikan sebagai ambisi utama, tak jarang mereka yang terlibat dalam kontestasi politik seringkali telah beranjak ‘terlalu jauh’, dan abai terhadap agenda penguatan demokrasi dan penjagaan terhadap multikulturalisme yang telah menjadi ruh dan spirit keindonesiaan sejak proklamasi kemerdekaan.
Kualitas pemilu dan demokrasi kita kian memburuk. Bahkan, agama yang semestinya menjadi kekuatan moral seringkali hanya dialihfungsikan sebagai kendaraan untuk mengumpulkan suara dan atau mengonsolidasi otoritas kekuasaan belaka. Pola-pola transaksional antara pemegang kuasa politik dan pemegang otoritas agama akan memunculkan regimentasi keagamaan.
Dengan masuk melalui instrumen-instrumen kekuasaan, kelompok agama mayoritas mulai mengintrodusir ideologi dan norma-normanya, menjadi hukum resmi yang mengikat semua kelompok minoritas yang berbeda pilihan mazhab ataupun aliran teologinya. Kelompok-kelompok minoritas lain dianggap sebagai ancaman, diperlakukan tidak adil, dan dibatasi aksesnya pada berbagai sumber daya penting. Akhirnya, klaim tentang nasionalisme dan Pancasila seringkali hanya pemanis bibir belaka, yang tidak diejawantahkan dalam sikap dan laku keseharian. Sering mengaku sebagai kelompok paling NKRI, tetapi kerap kali alergi hidup berdampingan dan koeksistensi dengan pihak yang beda saluran politik ataupun mazhab fikihnya.
Edward Aspinal dan Marcus Mietzner mengkritik tajam arah kemunduran demokrasi Indonesia tersebut. Menurutnya, demokrasi kita mengalami regresi. Menjalankan politik demokrasi, tetapi dengan mengabaikan politik pluralisme agama (Aspinal dan Mietzner, 2019). Inkonsistensi ini menandai rendahnya komitmen para elite politik untuk mewujudkan cita-cita sakral Indonesia sebagai tenda besar yang nyaman untuk semua kelompok agama, sekaligus cikal bakal lahirnya otoritarianisme baru.
Satu kelompok mayoritas agama dirangkul, sembari menginjak komunitas agama lain yang dipersepsi tidak sejalan.
Model pendekatan dan tata kelola yang salah dalam menghadapi pluralitas, mempercepat perpecahan baru berbasis identitas agama. Kasus perbedaan pilihan Hari Raya Idul Fitri yang dipersepsi kelompok mayoritas dengan bahasa ‘tidak taat’ terhadap pemerintah mencerminkan mentalitas otoritarianisme tersebut. Ini ialah upaya-upaya koersif untuk menakut-nakuti kelompok keagamaan lain. Disadari atau tidak, mereka terjebak dalam paradigma Hobbesian, yang melihat diversitas sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial.
Ditambah dengan fenomena kemiskinan akut dapat mengakibatkan fragmentasi sosial kian tidak terkendali. Kita sadari bersama, bahwa kefakiran dan kemiskinan menurunkan kadar resiliensi masyarakat dalam mempertahankan kohesi sosial. Terlepas dari data-data statistik mengenai naik turunnya angka kemiskinan yang terus diperdebatkan, realitasnya ialah, masih terjadi kesenjangan atau disparitas kesejahteraan dan pendapatan, dalam struktur sosial kita antara kelompok kaya dengan kelompok masyarakat mustadh’afin tidak bisa diingkari. Pembelahan masyarakat berdasarkan status sosial ekonomi terus terjadi. Tak jauh dari pusat-pusat kekuasaan, kantong-kantong kemiskinan tidak sulit dicari.
Kemerdekaan Republik Indonesia akan berusia 78 pada tahun ini. Namun, kemiskinan masih menjadi persoalan besar yang belum ter(di)selesaikan. Cita-cita para pendiri Republik akan terwujudnya janji keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Korupsi oleh para elite pusat maupun daerah semakin masif, meninggalkan pembangunan sumber daya manusia maupun infrastruktur jauh di belakang. Kasus viral mandeknya pembangunan infrastruktur jalan di Lampung selama beberapa dekade, merupakan puncak gunung es nihilnya pembangunan lantaran korupsi.
Menjaga kohesi sosial
Kita harus benar-benar berbuat, agar masyarakat Indonesia yang berbineka dan beragam ini terjaga dari polarisasi, fragmentasi, dan konflik yang tersulut akibat langkanya keadilan dan kesejahteraan. Seperti banyak kasus di negara lain, ketidakpercayaan secara vertikal antarsesama masyarakat maupun secara horizontal adanya distrust dari masyarakat kepada institusi pemerintah, dapat berujung kepada perang saudara, dan bahkan keruntuhan negara.
Para elite politik hendaknya menyadari, bahwa dinamika dan persaingan politik yang tidak sehat potensial merusak tatanan kohesi sosial masyarakat. Padahal, kohesi sosial merupakan tujuan sosial sekaligus tujuan politik yang penting yang harus dijaga, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila ketiga ‘Persatuan Indonesia’.
Kohesi sosial secara umum dipahami sebagai suatu keadaan dimana interaksi antarwarga negara berlangsung secara stabil dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat (Croissant dan Walkenhorst, 2019). Kohesi sosial menghasilkan masyarakat yang harmonis, yang dapat hidup koeksistensi dalam perbedaan, yang pada gilirannya menyukseskan jalannya pertumbuhan ekonomi dan penguatan demokrasi, dan kesejahteraan. Keragaman merupakan modal sosial yang positif bagi kemajuan bangsa.
Jerard, Suresh, dan Hedges (2022) telah melakukan riset yang mengukur kohesi sosial di negara-negara ASEAN. Hasil riset ini disampaikan pada saat penyelenggaraan International Conference on Cohesive Society di Singapura yang saya ikuti. Dari hasil riset tersebut, tergambar bahwa Indonesia menempati negara pertama yang memiliki persepsi kohesis sosial yang kuat. Ini harus disyukuri. Oleh karena itu, sebagai negara dengan tingkat keragaman suku, ras, etnik dan agama yang tinggi, menjaga kohesi sosial di Indonesia seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak.
Para pakar berpendapat bahwa untuk menjaga kohesi sosial setidaknya harus dibangun dengan tiga faktor fundamentalnya. Pertama, social relation yang berarti secara horizontal terbangun hubungan sosial yang baik dalam masyarakat. Ini bermakna, bahwa untuk menjaga kohesi sosial tetap kuat maka satu individu dengan individu lain dalam masyarakat ada jejaring sosial yang kuat, kepercayaan (trust) dalam semua hubungan interpersonal, serta penerimaan terhadap diversitas.
Kedua ialah connectedness, yang bermakna bahwa baik individu maupun kelompok masyarakat memiliki trust yang tinggi kepada institusi pemerintah serta adanya persepsi, bahwa pemerintah bersikap adil kepada semua kelompok. Ini jelas merupakan pekerjaan besar yang perlu dituntaskan, mengingat kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif sedang tidak baik-baik saja. Agar kondisi ideal ini terwujud, tentu mensyaratkan totalitas kerja keras pemerintah dalam memerangi korupsi dan gaya hidup mewah pejabat, mengayomi dan wujudkan keadilan untuk semua kelompok, menghantarkan public good dan mempersembahkan kesejahteraan hakiki untuk masyarakat.
Di samping itu, semua institusi publik tidak boleh membuat kebijakan yang diskriminatif. Jangan karena kepala daerahnya berasal dari satu kelompok tertentu, kelompok lain yang ingin beribadah dilanggar. Dalam kaidah fikih, dinyatakan al-‘adlu wajibun fi kulli syaiin. Keadilan wajib ada pada segala sesuatu. Karena itulah, Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengecam keras Amr bin Ash yang saat menjadi gubernur di Syam diketahui melanggar hak kewarganegaraan seorang Yahudi. Inilah akhlak seorang pemimpin. Ia konsisten berdiri di atas prinsip keadilan. Ketiga, fokus pada common good. Ini bermakna bahwa individu, masyarakat, maupun negara memiliki sikap dan perilaku yang sama dalam hal berkomitmen menjaga aturan main bersama. Norma sosial ataupun norma hukum, menjadi komando yang harus dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali sehingga tidak ada lagi perspesi salah bahwa hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Aturan hukum jangan dibuat atas dasar keinginan untuk memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu, tetapi hendaknya dibuat dengan mengedepankan prinsip egalitarianisme, partisipasi dari seluruh warga negara dan besifat demokratis. Dalam prinsip kewargaan modern, tidak boleh ada satu pun warga negara yang hak-haknya diberangus.
Peran agama
Jika demikian keadannya, maka peran khusus apakah yang dapat dimainakan oleh agama(wan)? Menurut Hillenbrand (2020), setidaknya terdapat tiga peran krusial yang perlu dimainkan. Pertama, pengajaran iman hendaknya dilakukan dalam konteks membangun dunia yang damai dan menghindari sikap arogan yang mendevaluasi insan agama lain hanya lantaran perbedaan keyakian ataupun tata cara beribadah. Keimanan yang inklusif semacam ini menjadi modal penting bagi kohesi suatu negara yang didalamnya terdiri dari banyak kelompok sosial multikultur. Kita bisa mencontoh kembali praktik baik dari Piagam Madinah yang pernah digagas oleh Rasulullah saat berada di Madinah. Digagas pada tahun pertama hijriyah, Piagam Madinah menjadi praktik mediasi dan resolusi konflik yang dibangun di atas dasar pemenuhan hak dan kewajiban semua kelompok agama di negara kota Madinah. Dengan itu, ketiga komunitas Muslim, Yahudi, dan Kristen yang sebelumnya terjebak dalam fraksinasi akibat sengketa latin serta memiliki kekuasaan dan kepentingan yang berbeda akhirnya dapat hidup dengan damai (Yildrim, 2010).
Kedua, insersi pendidikan keagamaan semestinya mampu mendorong timbulkan sikap dan perilaku yang utama seperti welas asih, tanggung jawab sosial, solidaritas, dan perilaku prososial lainnya kepada siapa pun tanpa harus melihat suku, agama, dan rasnya. Pendidikan agama di institusi pendidikan telah lama diukur keberhasilannya hanya berdasarkan pendekatan kognitif di atas selembar kerta ujian. Orientasi kuno semacam ini perlu diubah dengan metode yang lebih relevan dan komprehensif. Pendidikan agama hendaknya mampu membimbing perilaku manusia bermuamalah dengan baik terhadap sesama.
Di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Jabodetabek, misalnya, kini sudah memulai pengajaran mata kuliah pendidikan agama dengan metode experiental learning. Mahasiswa tidak hanya mempelajari teologi al-Mau’un secara kognitif an sich, melainkan mempraktikannya dalam kehidupan sosial nyata melalui program pemberdayaan keluarga duafa. Mahasiswa diajak mengontekstualisasikan nilai-nilai dalam Surat Al-Ma’un dalam realitas sosial. Setelah diajak mengunjungi kelompok sosial yang tertindas (mustadh’afin), mahasiswa membuat analisis sosial untuk memahami faktor-faktor penyebab kemiskinan.
Ketika pemahaman itu sudah didapat, mahasiswa menyusun program pemberdayaan dalam bentuk proposal. Pendanaan dicari melalui fundraising dari masyarakat, dan kemudian diserahkan kepada keluarga duafa. Dengan pengalaman semacam itu, mahasiswa belajar berpartisipasi aktif dan menyelesaikan persoalan yang ada di lingkungan sosialnya. Di samping itu, mahasiswa juga belajar civic culture seperti empati, welas asih, dan memanusiakan manusia.
Last but not least, pada tataran aktif, afiliasi seseorang pada kelompok keagamaan tertentu, hendaknya jangan justru menanamkan sikap arogan dan meremehkan kelompok keagamaan lain. Membangun mentalitas demarkasi bahwa kelompoknya, adalah yang paling benar dan melakukan provokasi bahwa kelompok lain salah merupakan akhlak yang sungguh dicela agama. Wa Allah a’lam.
Oleh : Ilham Mundzir
Grafis : MI/Seno
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/583540/agama-dan-kohesi-sosial-di-tengah-kontestasi-politik